Kamis, 12 Januari 2012

Batu Sup (Dongeng dari Belgia)

Konon, ada seorang prajurit yang sedang dalam perjalanan pulang dari medan pertempuran dan sampai di sebuah kampung. Angin bertiup agak dingin, langit berwarna kelabu, dan prajurit itu merasa lapar. Ia lalu berhenti di sebuah rumah di ujung kampung dan meminta sesuatu rumah di ujung kampung dan meminta sesuatu untuk dimakan. 
"Kami sendiri belum makan, tidak ada makan," kata pemilik rumah itu. 
Prajurit meneruskan perjalanannya. Akhirnya, ia berhenti di rumah lain dan sekali lagi ia meminta sesuatu yang dapat dimakan. 
"Tidak ada, kami tidak mempunyai makanan," kata pemilik rumah itu.
"Apakah Bapak punya sebuah periuk?" tanya prajurit itu.
Pemilik rumah mengiyakan. Ia memiliki sebuah periuk besi yang agak besar.
"Punya air?" tanya prajurit itu lagi. "Ada," kata si empunya rumah. "Coba, isi periuk itu dengan air, kemudian letakkan di atas api," ujar prajurit. 
"Sata membawa sebuah batu sup." "Batu sup?" tanya pemilik rumah. "Apa itu?"
"Batu yang bisa dibuat sayur sup," jawab prajurit.
Istri tuan rumah segera mengisi periknya denan air, lalu meleakkanya di atas api. Kemudian, prajurit itu mengeluarkan sebuah batu kecil dari sakunya. Batu itu seperti baru biasa yang ada di jalanan. Lalu, batu itu dimasukkan ke dalam periuk. 
"Sekarang, tunggulah sampai mendidih," kata prajurit 
Mereka duduk mengelilingi periuk hingga airnya mendidih.
"Apakah Bapak mempunyai sedikit garam untuk sup ini?" tanya prajurit itu.
"Ada, ada," jawab nyonya rumah sambil mengambil garam. Prajurit mengambil segenggam, lalu ia masukkan ke dalam periuk. Mereka menunggu lagi.
"Jika dimasukkan lobak kuning, rasanya akan bertambah sedap," ujar prajurit tiba-tiba.
"Oh, kami memiliki lobak kuning," jawab si Nyonya Rumah sambil mengeluarkan sayutan dari balik bangku, yang sebelumnya telah terlihat oleh prajurit itu.
Lobak kuning itu lalu dimasukkan ke dalam periuk. Sementara menunggu sup masak, prajurit itu menceritakan pengalamannya di medan perang.
"Jika ada beberapa buah kentang, tentu sangat baik, bukan?" ujar prajurit itu lagi. "Sup ini tentu akan bertambah kental."
"Kami juga memiliki kentang," kata anak perempuan pemilik rumah. "Nanti hamba ambilkan."
Kentang itu akhirnya dimasukkan ke dalam periuk dan mereka menunggu sampai sup itu masak.
"Ah, kalau ditambah sebiji bawang, rasanya akan lezat lagi," gumam prajurit itu.
"Pergilah ke tetangga, Nak," kata pemilik rumah kepada anaknya.
Anak lelaki yang disuruh itu langsung pergi dan segera kembali membawa sesiung bawang. Bawang ini lalu dimasukkan pula ke dalam periuk. Sambil menunggu sup itu masak, mereka berkelakar dan tertawa-tawa.
"... dan semenjak hamba menginggalkan rumah Ibu, hamba belum pernah merasakan kubis," kata prajurit itu di akhir ceritanya.
"Pergilah ke kebun dan cabutlah kubis," perintah tuan rumah kepada anak perempuannya.
Anak itu menurut dan pergi mengambil kubis, yang segera dimasukkan ke dalam periuk.
"Tidak lama lagi," gumam prajurit sambil menatap periuk di depannya.
"Tidak," jawab nyonya di sebelahya. Kemudian ia mengaduk periuk itu dengan sebuah sendok panjan dari kayu.
Pada waktu itulah anak lelaki sulu mereka datang. Ia baru saja pulang berburu dan membawa dua ekor kelinci.
"Inilah daging yang kita tunggu-tunggu," teriak prajurit itu. Dalam beberapa menit saja kelinci itu sudah dipotong, lalu dimasukkan pula dalam periuk.
"Hai," kata pemburu muda yang lapar itu. "Bau sup ini sedap sekali."
"Pengembara ini membawa bau sup,"kata tuan rumah kepada putranya. "Ia memasak batu itu di dalam periuk ini."
Akhirnya sup masak. Rasanya memang sedap sekali. Sup itu cukup untuk mereka semua.
"Ah, sedap sekali sup ini," kata tuan rumah.
"Batu ini memang ajaib," kata tuan rumah.
"Batu itu memang ajaib," kata istrinya.
"Betul," jawab prajurit itu, "batu itu bisa dibuat sup untuk selama-lamanya asal dipakai seperti yang saya lakukan tadi."
Akhirnya, sup itu mereka habiskan. Ketika prajurit itu akan berangkat, ia berikan batu itu kepada istri tuan rumah sebagai tanda terima kasih. Wanita itu menolak dengan hormat.
"Terima kasih," kata prajurit mendesakkan kemauannya.
Sebelum sampai di kampung yang lain, dia sudah memiliki sebuah batu lagi.

(dikutip dari Ikut Sang Surya Keliling Dunia II saduran Hilman Madewa, 1984, hlm. 77-79)